PONTIANAK – 19 Juni 2025 Kalimantan Barat LIDIKKRIMSUSNews.Com | Laporan Khusus Investigasi Sebuah kisah pilu sekaligus ironis mencuat di tengah hiruk-pikuk Kota Pontianak yang dikenal ramah dan religius. Seorang gadis remaja bernama Nanda Kumalasari (18 tahun) mendadak menjadi korban dugaan eksploitasi terselubung oleh Yayasan Bunda Nanda , lembaga penyalur tenaga kerja yang berlokasi di Jalan Dr. Sutomo, Pontianak.
Nanda Kumalasari bekerja selama *tiga bulan* sebagai asisten rumah tangga (ART), namun karena alasan pribadi ia mengundurkan diri sebelum masa kontraknya yang berdurasi 12 bulan rampung. Malangnya, keputusan ini dibalas dengan tindakan kejam: ijazahnya ditahan*, dan pihak yayasan menuntut *denda sepihak lebih dari Rp 5 juta
Tidak berhenti sampai di situ, yayasan bahkan menetapkan syarat tambahan yang mencengangkan — korban harus menghadirkan dua tenaga kerja pengganti** sebagai bentuk “tanggung jawab” agar ijazahnya dikembalikan.
Kuasa Hukum Turun Tangan: PBH PERADI Siap Tempuh Jalur Hukum
Melihat tekanan terhadap keluarga Kumalasari semakin berat, Perhimpunan Bantuan Hukum (PBH) DPC PERADI Mempawah–Kubu Raya–Landak secara resmi turun tangan. AKBP (Purn.) Hartono, S.H. selaku Ketua PBH memimpin tim yang terdiri dari *delapan advokat dan menunjuk Raimond Franki Wantalangi, S.H. sebagai juru bicara tim hukum dalam perkara ini.
> “Ini bukan lagi sekadar pelanggaran kontrak. Ini bentuk pemerasan yang dibungkus sistem yayasan. Kami tegaskan: ini bertentangan dengan hukum nasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” tegas Raimond dalam keterangan pers, Kamis (19/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa korban bahkan dipaksa menandatangani surat pernyataan di atas materai oleh pihak yayasan, dalam keadaan *tanpa pendampingan hukum, tanpa pemahaman yang utuh , dan dalam tekanan psikologis.
> “Tindakan sepihak ini tidak sah menurut hukum perdata, pidana, maupun ketenagakerjaan. Jika tidak segera diselesaikan, kami akan membawa kasus ini ke meja hijau melalui jalur pidana dan gugatan perdata,” tegasnya lagi.
Rangkaian Pelanggaran Hukum yang Teridentifikasi
Berdasarkan kajian awal tim hukum, Yayasan Bunda Nanda diduga kuat melanggar berbagai ketentuan hukum dan regulasi nasional berikut:
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 6 Tahun 2023 (Cipta Kerja)
Pasal 52 s.d. 54 mewajibkan kontrak kerja dibuat secara sukarela, berkeadilan, dan tidak boleh memuat sanksi sepihak.
Bentuk kontrak yang menjebak dengan denda dan pemaksaan pengganti kerja melanggar asas kebebasan berkontrak dan keadilan kontraktual .
2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 15 menyebutkan: *“Setiap orang berhak bekerja dan diperlakukan secara adil dan layak.”
Menahan ijazah sebagai alat tekanan merupakan bentuk pelanggaran hak dasar pekerja, dan bentuk kontrol sosial yang menjurus pada eksploitasi.
3. Pasal 368 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tentang Pemerasan
“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman untuk memberikan sesuatu, dapat dikenai pidana.”
Dalam konteks ini, penahanan ijazah yang dijadikan alat ancaman agar korban membayar atau mencari pengganti tenaga kerja, memenuhi unsur pemerasan.
4. SE Menteri Ketenagakerjaan No. M/2/HK.04.00/III/2023
Jelas dan tegas melarang setiap pihak—baik pengusaha, yayasan, maupun penyalur—menahan dokumen pribadi pekerja, termasuk ijazah, KTP, dan KK.
Desakan : Tutup Sementara Yayasan Bunda Nanda – Audit Menyeluruh Wajib Dilakukan.
Melihat kompleksitas dan indikasi pelanggaran serius, PBH PERADI mendesak Wali Kota Pontianak , Dinas Ketenagakerjaan , dan Dinas Sosial untuk segera menutup sementara seluruh aktivitas operasional Yayasan Bunda Nanda .
> “Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Ini bukan hanya pelanggaran hukum administratif—ini soal kemanusiaan dan perlindungan warga. Bila dibiarkan, akan muncul korban-korban berikutnya,” ujar AKBP (Purn.) Hartono, S.H.
Lebih lanjut, PBH PERADI mendorong dibentuknya *Tim Investigasi Independen* yang melibatkan unsur pemerintah, penegak hukum, dan organisasi perlindungan buruh untuk mengaudit *legalitas operasional yayasan*, *sistem perekrutan*, serta seluruh *kontrak kerja yang selama ini dijalankan*.
Raimond juga membuka *posko pengaduan terbuka* di Kantor PBH PERADI DPC Mempawah–Kubu Raya–Landak bagi masyarakat yang merasa pernah mengalami hal serupa.
> “Yayasan ini harus dievaluasi total. Jangan sampai institusi yang berdiri atas nama sosial justru menjadi alat eksploitasi yang melanggengkan ketakutan, tekanan, dan praktik pemerasan legal,” tandasnya.
Penutup : Keadilan Harus Ditegakkan, Korban Harus Dipulihkan
Kisah Nanda Kumalasari hanyalah satu dari sekian banyak potret buram buruh domestik di Indonesia. Penahanan ijazah bukan hanya menghalangi hak pendidikan dan kerja, tapi juga menahan *masa depan seorang anak bangsa.
> “Kami tidak akan berhenti. Kami akan lawan. Hukum harus bicara. Dan pemerintah harus berani menindak,” tutup Raimond, dengan nada serius.
Tim Investigasi & Redaksi Khusus :
LIDIKKRIMSUSNews.Com
Melayani Kepentingan Publik | Menolak Bungkam atas Ketidakadilan