LIDIKKRUSNEWS.COM // Senin 14 April 2025 , Kubu Raya, Kalimantan Barat ,Isu penjualan hutan bakau seluas 400 hektare di Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, memicu kehebohan di tengah masyarakat. Seorang oknum Kepala Desa Kubu diduga menjadi aktor utama dalam transaksi lahan tersebut, yang konon ditujukan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Nilai transaksi diperkirakan mencapai Rp1,2 miliar, dengan harga jual rata-rata Rp6 juta per hektare.
Dugaan ini pertama kali mencuat saat warga melihat alat berat jenis excavator masuk ke kawasan hutan mangrove pada Sabtu, 12 April 2025. Aktivitas pembukaan lahan secara besar-besaran itu menimbulkan tanda tanya besar, mengingat wilayah tersebut selama ini dikenal sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai penahan abrasi pantai, penyaring air laut, serta habitat bagi berbagai jenis ikan dan kepiting yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.
*Transaksi Diduga Ilegal, Bukti Visual Beredar*
Dugaan keterlibatan oknum kepala desa semakin diperkuat dengan beredarnya foto dan video yang memperlihatkan proses serah terima uang dalam jumlah besar, serta penandatanganan dokumen yang disebut sebagai bukti pelunasan jual beli lahan. Materi visual tersebut telah beredar luas di kalangan masyarakat dan menjadi bahan perbincangan hangat, tak hanya di Desa Kubu, tapi juga di media sosial dan ruang-ruang diskusi publik se-Kalimantan Barat.
Menurut informasi yang dihimpun oleh Tim Liputan Media Harapan Indonesia (MHI) Perwakilan Kalbar, lahan tersebut dibeli oleh seorang warga berinisial BN yang disebut-sebut memiliki hubungan dengan pengusaha perkebunan kelapa sawit. Namun hingga kini, belum ada konfirmasi resmi dari pihak pembeli maupun kepala desa yang bersangkutan.
*Kemarahan Warga : Hutan Bakau Bukan Barang Dagangan*
Seorang warga Desa Kubu yang ditemui di salah satu warung kopi di Pontianak mengungkapkan kekecewaannya. Ia menyebut bahwa kawasan mangrove yang diduga dijual adalah bagian penting dari sistem kehidupan masyarakat lokal.
“Kalau ini benar terjadi, sangat disayangkan. Hutan bakau itu bukan hanya penting secara ekologi, tapi juga sumber hidup warga. Apalagi, saya tahu pernah ada warga yang ditegur bahkan alat kerjanya disita polisi hanya karena menebang sedikit untuk bikin pondok. Tapi yang ini malah bawa ekskavator, dan belum ada tindakan apa-apa,” ungkapnya.
Warga pun mempertanyakan ketimpangan hukum. Mengapa seorang warga kecil bisa langsung ditindak hanya karena memanfaatkan beberapa pohon bakau untuk keperluan pribadi, sementara pelanggaran besar-besaran seperti ini belum mendapatkan perhatian serius dari pihak berwenang.
*Pertemuan Lintas Pihak Dijadwalkan, Kapolsek Hadir*
Untuk merespons gejolak yang timbul di masyarakat, pertemuan terbuka antara warga, pemerintah kecamatan, serta instansi terkait dijadwalkan akan dilaksanakan pada hari Selasa, 15 April 2025 di Kantor Camat Kubu.
Konfirmasi kehadiran telah disampaikan oleh Kapolsek Kubu kepada tim media melalui pesan singkat WhatsApp.
Pihak Media MHI Kalbar juga telah mengajukan permohonan resmi untuk melakukan peliputan langsung dalam agenda tersebut, mengingat pentingnya isu ini secara publik dan urgensinya dalam menjaga kawasan strategis ekologis di wilayah pesisir Kalbar.
*Belum Ada Tanggapan Resmi dari Oknum Kades*
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Desa Kubu yang dituding terlibat belum memberikan keterangan apapun kepada media. Beberapa upaya konfirmasi melalui sambungan telepon dan pesan singkat belum mendapatkan respons.
Publik pun mendesak agar aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalbar, segera turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh. Kasus ini tak hanya menyangkut dugaan pelanggaran hukum administrasi pertanahan, tetapi juga potensi tindak pidana kehutanan, perusakan lingkungan, dan penyalahgunaan wewenang.
*Ancaman Bagi Ekosistem dan Masa Depan Generasi Lokal*
Kawasan hutan mangrove di wilayah pesisir Kalimantan Barat merupakan salah satu zona penyangga vital dari dampak krisis iklim. Kehilangan kawasan ini tak hanya memperbesar risiko abrasi dan kerusakan pesisir, tapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi warga yang menggantungkan hidup dari hasil laut.
Para pegiat lingkungan dan aktivis lokal pun mulai menyuarakan keresahan, mendorong dibentuknya tim investigasi independen yang melibatkan akademisi, LSM lingkungan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika diperlukan.
“Ini bukan sekadar soal jual beli tanah. Ini soal keadilan ekologis dan masa depan generasi Kubu,” ujar seorang aktivis lingkungan dari Pontianak.
Masyarakat kini menunggu langkah tegas pemerintah dan penegak hukum. Apakah kasus ini akan menjadi contoh penegakan hukum yang adil, atau justru menambah daftar panjang pembiaran terhadap perusakan lingkungan yang melibatkan kekuasaan.
Laporan: Ruslan Mahmud
Tim :Liputan MHI Kalbar
Editor : LKRINEWS.COM