Istilah “Mambangkik Batang Tarandam” sudah tak asing di telinga masyarakat Minangkabau, terutama di kalangan perantau. Ia adalah seruan moral dan budaya untuk membangkitkan kembali harga diri, kejayaan, dan peran strategis orang Minang dalam berbagai lini kehidupan. Namun, semakin sering semboyan ini digaungkan, semakin terasa betapa jauhnya jarak antara semangat dan realitas.
Oleh: Mel Sofyan
Di berbagai daerah, kita menjumpai banyak organisasi Minang—baik berbentuk paguyuban, yayasan, maupun komunitas diaspora.
Tapi sayangnya, banyak dari mereka justru hanya aktif dalam urusan sosial, kesenian, dan budaya. Kegiatan yang digelar sebagian besar hanya bersifat seremonial: pertunjukan tari, festival kuliner, arisan, hingga acara pertemuan silaturrahmi, baralek gadang yang penuh gegap gempita namun minim dampak jangka panjang.
Tentu, kita tidak menafikan pentingnya budaya. Budaya adalah akar yang menjaga identitas.
Namun, jika hanya berhenti di panggung hiburan dan budaya, lalu apa bedanya organisasi kita dengan sanggar seni biasa?
Yang lebih memprihatinkan, sangat sedikit organisasi Minang yang secara serius menggarap program di bidang pendidikan dan ekonomi. Beberapa mungkin memiliki visi, tapi tak punya program yang berjalan.
Sebagian besar hanya menggantungkan harapan pada proposal dan seremonial peluncuran tanpa tindak lanjut yang berarti.
Padahal, pendidikan dan ekonomi adalah dua pilar utama dalam Mambangkik Batang Tarandam. Tanpa generasi yang terdidik dan ekonomi yang kuat, semangat sebesar apa pun hanya akan menjadi gema di ruang hampa.

Tidak hanya itu. Dalam konteks saat ini, organisasi Minang juga perlu berani mendorong keterlibatan dalam bidang politik.
Sudah saatnya masyarakat Minang tidak hanya jadi penonton di arena pengambilan kebijakan. Kita butuh lebih banyak tokoh Minang yang tampil di level legislatif, eksekutif, hingga lembaga-lembaga strategis nasional maupun daerah. Tapi itu hanya bisa terwujud jika organisasi dan masyarakat Minang bahu-membahu memberikan dukungan, bukan justru saling melemahkan.
Mambangkik Batang Tarandam tak bisa lagi hanya dimaknai sebagai simbol budaya. Ia harus menjadi gerakan bersama—yang menyasar peningkatan kualitas pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dukungan terhadap pelaku UMKM dan wirausaha Minang, serta dorongan terhadap tokoh-tokoh muda untuk berani tampil di panggung politik dan kepemimpinan nasional.
Jika tidak, maka organisasi-organisasi Minang akan kehilangan relevansi. Ia akan tinggal nama dan ingatan, terjebak dalam euforia yang tidak membawa perubahan nyata bagi generasi mendatang.
Sudah saatnya kita mengubah arah gerak. Dari nostalgia ke strategi. Dari panggung ke lapangan. Dari kata-kata ke kerja nyata.
Karena Mambangkik Batang Tarandam butuh lebih dari sekadar tarian. Ia butuh tekad, keberanian, dan aksi bersama untuk membangun masa depan yang layak bagi anak cucu kita.
Catatan Penulis:
Mel Sofyan adalah seorang perantau Minang, aktivis organisasi, sekaligus pelaku usaha dan pemerhati sosial budaya masyarakat Minangkabau.